Artikel Global Warming
Pemanasan global adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi.
Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C
(1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel
on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar
peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20
kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah
kaca akibat aktivitas manusia"[1] melalui efek rumah kaca. Kesimpulan
dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan
akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8.
Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan
beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.
Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu
permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F)
antara tahun 1990 dan 2100.[1] Perbedaan angka perkiraan itu dikarenakan
oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah
kaca di masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang
berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga
2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus
berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas
rumah kaca telah stabil.[1] Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas
dari lautan.
Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan
perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut,
meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim,[2] serta perubahan
jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain
adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya
berbagai jenis hewan.
Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuan adalah mengenai jumlah
pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana
pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan
bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih
terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada,
tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan
pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap
konsekwensi-konsekwensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan
negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol
Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.
Penyebab pemanasan global
Efek rumah kaca
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Efek rumah kaca
Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari.
Sebagian besar energi tersebut dalam bentuk radiasi gelombang pendek,
termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini mengenai permukaan Bumi, ia
berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan
Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya.
Sebagian dari panas ini sebagai radiasi infra merah gelombang panjang ke
angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi
akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon
dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini.
Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang
dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di
permukaan Bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan
suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana kaca dalam rumah kaca. Dengan
semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak
panas yang terperangkap di bawahnya.
Sebenarnya, efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk
hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat
dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi
sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F) dengan efek rumah kaca
(tanpanya suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh
permukaan Bumi). Akan tetapi sebaliknya, akibat jumlah gas-gas tersebut
telah berlebih di atmosfer, pemanasan global menjadi akibatnya.
Efek umpan balik
Efek-efek dari agen penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh
berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah
pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas
rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih
banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan
gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap
air di udara hingga tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air.
Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh
akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan
air absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau
bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat).[3] Umpan balik ini
hanya dapat dibalikkan secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia
yang panjang di atmosfer.
Efek-efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek
penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan
radiasi infra merah balik ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek
pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan
memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga
meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya pemanasan atau
pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe
dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan
dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila
dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model
iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam
Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan
berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air
dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang
digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.[3]
Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan
cahaya (albedo) oleh es.[4] Ketika temperatur global meningkat, es yang
berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat.
Bersama dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya akan
terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya
lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap
lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan
menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang
berkelanjutan.
Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah
beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap
pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga
menimbulkan umpan balik positif.
Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia
menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona
mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton
yang merupakan penyerap karbon yang rendah.[5]
Variasi Matahari
Variasi Matahari selama 30 tahun terakhir.
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Variasi Matahari
Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan
kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi
kontribusi dalam pemanasan saat ini.[6] Perbedaan antara mekanisme ini
dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas
Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan
mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling
tidak telah diamati sejak tahun 1960,[7] yang tidak akan terjadi bila
aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini.
(Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut
tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena
variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin
telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun
1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.[8][9]
Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari
mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke
University mengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi
terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama periode
1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000.[10] Stott dan
rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini
membuat estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca
dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa
efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah
dipandang remeh.[11] Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan
dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari
sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade
terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.
Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan
Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat
"keterangan" dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus
Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat
"keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk
berkontribusi terhadap pemansan global.[12][13] Sebuah penelitian oleh
Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara
pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui
variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.[14]
Mengukur pemanasan global
Hasil pengukuran konsentrasi CO2 di Mauna Loa
Pada awal 1896, para ilmuan beranggapan bahwa membakar bahan bakar fosil
akan mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan temperatur
rata-rata global. Hipotesis ini dikonfirmasi tahun 1957 ketika para
peneliti yang bekerja pada program penelitian global yaitu International
Geophysical Year, mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung Mauna
Loa di Hawai. Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan
konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi dari
atmosfer terus diukur dengan cermat. Data-data yang dikumpulkan
menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan konsentrasi dari gas-gas
rumah kaca di atmosfer.
Para ilmuan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin
menghangat, tetapi mereka tidak mampu memberikan bukti-bukti yang tepat.
Temperatur terus bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi yang
satu ke lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim untuk
memperoleh data-data yang menunjukkan suatu kecenderungan (trend) yang
jelas. Catatan pada akhir 1980-an agak memperlihatkan kecenderungan
penghangatan ini, akan tetapi data statistik ini hanya sedikit dan tidak
dapat dipercaya. Stasiun cuaca pada awalnya, terletak dekat dengan
daerah perkotaan sehingga pengukuran temperatur akan dipengaruhi oleh
panas yang dipancarkan oleh bangunan dan kendaraan dan juga panas yang
disimpan oleh material bangunan dan jalan. Sejak 1957, data-data
diperoleh dari stasiun cuaca yang terpercaya (terletak jauh dari
perkotaan), serta dari satelit. Data-data ini memberikan pengukuran yang
lebih akurat, terutama pada 70 persen permukaan planet yang tertutup
lautan. Data-data yang lebih akurat ini menunjukkan bahwa kecenderungan
menghangatnya permukaan Bumi benar-benar terjadi. Jika dilihat pada
akhir abad ke-20, tercatat bahwa sepuluh tahun terhangat selama seratus
tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan tiga tahun terpanas
terjadi setelah tahun 1990, dengan 1998 menjadi yang paling panas.
Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa temperatur udara global telah
meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861. Panel
setuju bahwa pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktifitas
manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi
peningkatan temperatur rata-rata global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C
(2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.
IPCC panel juga memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi gas di
atmosfer tidak bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap terus
menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan
sebelumnya. karbon dioksida akan tetap berada di atmosfer selama seratus
tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya kembali. Jika emisi gas
rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi
karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada
awal abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya,
akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun sebenarnya
peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali sepanjang
sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan resiko populasi
yang sangat besar.
Model iklim
Prakiraan peningkatan temperature terhadap beberapa skenario kestabilan
(pita berwarna) berdasarkan Laporan Pandangan IPCC ke Empat. Garis hitam
menunjukkan prakiraan terbaik; garis merah dan biru menunjukkan
batas-batas kemungkinan yang dapat terjadi.
Perhitungan pemanasan global pada tahun 2001 dari beberapa model iklim
berdasarkan scenario SRES A2, yang mengasumsikan tidak ada tindakan yang
dilakukan untuk mengurangi emisi.
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Model iklim global
Para ilmuan telah mempelajari pemanasan global berdasarkan model-model
computer berdasarkan prinsip-prinsip dasar dinamikan fluida, transfer
radiasi, dan proses-proses lainya, dengan beberapa penyederhanaan
disebabkan keterbatasan kemampuan komputer. Model-model ini
memprediksikan bahwa penambahan gas-gas rumah kaca berefek pada iklim
yang lebih hangat.[15] Walaupun digunakan asumsi-asumsi yang sama
terhadap konsentrasi gas rumah kaca di masa depan, sensitivitas iklimnya
masih akan berada pada suatu rentang tertentu.
Dengan memasukkan unsur-unsur ketidakpastian terhadap konsentrasi gas
rumah kaca dan pemodelan iklim, IPCC memperkirakan pemanasan sekitar 1.1
°C hingga 6.4 °C (2.0 °F hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1]
Model-model iklim juga digunakan untuk menyelidiki penyebab-penyebab
perubahan iklim yang terjadi saat ini dengan membandingkan perubahan
yang teramati dengan hasil prediksi model terhadap berbagai penyebab,
baik alami maupun aktivitas manusia.
Model iklim saat ini menghasilkan kemiripan yang cukup baik dengan
perubahan temperature global hasil pengamatan selama seratus tahun
terakhir, tetapi tidak mensimulasi semua aspek dari iklim.[16]
Model-model ini tidak secara pasti menyatakan bahwa pemanasan yang
terjadi antara tahun 1910 hingga 1945 disebabkan oleh proses alami atau
aktivitas manusia; akan tetapi; mereka menunjukkan bahwa pemanasan sejak
tahun 1975 didominasi oleh emisi gas-gas yang dihasilkan manusia.
Sebagian besar model-model iklim, ketika menghitung iklim di masa depan,
dilakukan berdasarkan skenario-skenario gas rumah kaca, biasanya dari
Laporan Khusus terhadap Skenario Emisi (Special Report on Emissions
Scenarios / SRES) IPCC. Yang jarang dilakukan, model menghitung dengan
menambahkan simulasi terhadap siklus karbon; yang biasanya menghasilkan
umpan balik yang positif, walaupun responnya masih belum pasti (untuk
skenario A2 SRES, respon bervariasi antara penambahan 20 dan 200 ppm
CO2). Beberapa studi-studi juga menunjukkan beberapa umpan balik
positif.[17][18][19]
Pengaruh awan juga merupakan salah satu sumber yang menimbulkan
ketidakpastian terhadap model-model yang dihasilkan saat ini, walaupun
sekarang telah ada kemajuan dalam menyelesaikan masalah ini. [20] Saat
ini juga terjadi diskusi-diskusi yang masih berlanjut mengenai apakah
model-model iklim mengesampingkan efek-efek umpan balik dan tak langsung
dari variasi Matahari.
Dampak pemanasan global
Para ilmuan menggunakan model komputer
dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk
mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan
telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global
terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan
hewan liar dan kesehatan manusia.
Cuaca
Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian
Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih
dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan
mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung
di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami
salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di
daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta
akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa
area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk
meningkat.
Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang
menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban
tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih
jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca,
sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer.
Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang
lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke
angkasa luar, di mana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat
siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan,
secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit
pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1
persen dalam seratus tahun terakhir ini)[21]. Badai akan menjadi lebih
sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya
beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan
bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai
(hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi
lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode
yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak
terprediksi dan lebih ekstrim.
Tinggi muka laut
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kenaikan permukaan laut
Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi.
Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan
menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi
permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub,
terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut.
Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 - 25 cm (4 - 10
inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan
lebih lanjut 9 - 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.
Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah
pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah
Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi
dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi
lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di
daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar
untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin
mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.
Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi
ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh
dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan
terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah
dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari
Florida Everglades.
Pertanian
Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang
hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi
hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada,
sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya
curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian
tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat
tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari
gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju)
musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair
sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat
mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.
Hewan dan tumbuhan
Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup
yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar
lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung
untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan
mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya
menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan
menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara
atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian
mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat
berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.
Kesehatan manusia
Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya
penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan
kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen
sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang
ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub
utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan
bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma.
Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke
tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare,
malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit,
dan lain-lain.
Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit
melalui air (Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui
vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian Demam
Berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini
berkembang biak.
Degradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai
juga berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease.
Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak
terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit
saluran pernafasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis, penyakit
jantung dan paru kronis, dan lain-lain.[22]
Perdebatan tentang pemanasan global
Tidak semua ilmuwan setuju tentang keadaan
dan akibat dari pemanasan global. Beberapa pengamat masih
mempertanyakan apakah temperatur benar-benar meningkat. Yang lainnya
mengakui perubahan yang telah terjadi tetapi tetap membantah bahwa masih
terlalu dini untuk membuat prediksi tentang keadaan di masa depan.
Kritikan seperti ini juga dapat membantah bukti-bukti yang menunjukkan
kontribusi manusia terhadap pemanasan global dengan berargumen bahwa
siklus alami dapat juga meningkatkan temperatur. Mereka juga menunjukkan
fakta-fakta bahwa pemanasan berkelanjutan dapat menguntungkan di
beberapa daerah.
Para ilmuwan yang mempertanyakan pemanasan global cenderung menunjukkan
tiga perbedaan yang masih dipertanyakan antara prediksi model pemanasan
global dengan perilaku sebenarnya yang terjadi pada iklim. Pertama,
pemanasan cenderung berhenti selama tiga dekade pada pertengahan abad
ke-20; bahkan ada masa pendinginan sebelum naik kembali pada tahun
1970-an. Kedua, jumlah total pemanasan selama abad ke-20 hanya separuh
dari yang diprediksi oleh model. Ketiga, troposfer, lapisan atmosfer
terendah, tidak memanas secepat prediksi model. Akan tetapi, pendukung
adanya pemanasan global yakin dapat menjawab dua dari tiga pertanyaan
tersebut.
Kurangnya pemanasan pada pertengahan abad disebabkan oleh besarnya
polusi udara yang menyebarkan partikulat-partikulat, terutama sulfat, ke
atmosfer. Partikulat ini, juga dikenal sebagai aerosol, memantulkan
sebagian sinar matahari kembali ke angkasa luar. Pemanasan berkelanjutan
akhirnya mengatasi efek ini, sebagian lagi karena adanya kontrol
terhadap polusi yang menyebabkan udara menjadi lebih bersih.
Keadaan pemanasan global sejak 1900 yang ternyata tidak seperti yang
diprediksi disebabkan penyerapan panas secara besar oleh lautan. Para
ilmuan telah lama memprediksi hal ini tetapi tidak memiliki cukup data
untuk membuktikannya. Pada tahun 2000, U.S. National Oceanic and
Atmospheric Administration (NOAA) memberikan hasil analisa baru tentang
temperatur air yang diukur oleh para pengamat di seluruh dunia selama 50
tahun terakhir. Hasil pengukuran tersebut memperlihatkan adanya
kecenderungan pemanasan: temperatur laut dunia pada tahun 1998 lebih
tinggi 0,2 derajat Celsius (0,3 derajat Fahrenheit) daripada temperatur
rata-rata 50 tahun terakhir, ada sedikit perubahan tetapi cukup
berarti.[21]
Pertanyaan ketiga masih membingungkan. Satelit mendeteksi lebih sedikit
pemanasan di troposfer dibandingkan prediksi model. Menurut beberapa
kritikus, pembacaan atmosfer tersebut benar, sedangkan pengukuran
atmosfer dari permukaan Bumi tidak dapat dipercaya. Pada bulan Januari
2000, sebuah panel yang ditunjuk oleh National Academy of Sciences untuk
membahas masalah ini mengakui bahwa pemanasan permukaan Bumi tidak
dapat diragukan lagi. Akan tetapi, pengukuran troposfer yang lebih
rendah dari prediksi model tidak dapat dijelaskan secara jelas.
Pengendalian pemanasan global
Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen
per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan
saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di masa depan.
Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil
melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di
masa depan.
Kerusakan yang parah dapat diatasi dengan berbagai cara. Daerah pantai
dapat dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya
air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai
untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti
Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap
menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang belum
dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara
perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat
yang lebih dingin.
Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas
rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan
menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara
ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua,
mengurangi produksi gas rumah kaca.
Menghilangkan karbon
Cara yang paling mudah untuk menghilangkan
karbon dioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam
pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat
pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak, memecahnya
melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh
dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang
mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit
sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan
yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah
tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan
kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah
kaca.
Gas karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya
dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak
untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil
Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas ini di
bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer.
Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai
Norwegia, di mana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas
alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat
kembali ke permukaan.
Salah satu sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan
bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak
revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi
sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumi pada
pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa
digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan
bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi
jumlah karbon dioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan
karbon dioksida lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi
bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi
terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbon dioksida
ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan
keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, bahkan tidak melepas karbon
dioksida sama sekali.
Persetujuan internasional
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Protokol Kyoto
Kerjasama internasional diperlukan untuk
mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di tahun 1992, pada Earth
Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi
masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam
suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara
merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol
Kyoto.
Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38
negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam
melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5
persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai
paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri
untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan
emisi hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang
menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan
Jepang 6 persen. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara
berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi gas.
Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru
terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan
karbon dioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga
menyangkal dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak
dibebani dengan persyaratan pengurangan karbon dioksida ini. Kyoto
Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila negara-negara industri yang
bertanggung jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca pada
tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi
ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian
ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari
2005.
Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika
perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi
bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan
yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara
berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan
separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini
memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di
Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri
batubara dan perusahaan-perusahaan lainnya yang produksinya tergantung
pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi
yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300
milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi. Sebaliknya
pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan hanya
sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta
dikembalikan dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke
peralatan, kendaraan, dan proses industri yang lebih effisien.
Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya
dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan
tetapi membatasi emisi karbon dioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai
contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor
lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal
untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbon dioksida.
Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto
bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum
terselesaikan seperti peraturan, metode dan pinalti yang wajib
diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca.
Para negoisator merancang sistem di mana suatu negara yang memiliki
program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan
menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sistem ini
disebut perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara yang sulit
meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda, dapat membeli kredit polusi
di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia,
merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini diterapkan.
Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah kacanya
sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih
dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk
menjual kredit emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka
yang ada di Uni Eropa.